1. “Ayo jalan, buruan! Save, terus matiin!”
Berapa banyak dari Anda yang pernah mengalami kejadian ini, apalagi Anda yang sempat mencicipi game-game lawas di platform generasi sebelumnya? Sebagian non-gamer sangat mengerti bahwa Anda harus melakukan perintah SAVE untuk memastikan progress permainan Anda tercatat dan tidak hilang. Namun yang tidak pernah bisa mereka mengerti adalah fakta bahwa Anda membutuhkan SAVE POINT untuk melakukannya.
Hasilnya? Ketika Anda terpentok jadwal yang dianggap penting, mereka yang non-gamer tidak akan segan untuk memaksa Anda untuk menghentikan permainan di kala jalan sembari melemparkan kata magis “Save dulu aja!”. Ketika Anda berargumen bahwa Anda butuh mencari save point terlebih dahulu sebelum dapat melakukannya, Anda dicap sebagai pembohong dan hanya mengulur-ngulur waktu tanpa bisa memperhatikan prioritas.
Kejadian yang sama juga ketika Anda memperlihatkan mood yang berantakan ketika utnuk alasan yang tidak jelas, save data Anda bermasalah atau hilang. Orang awam tidak akan pernah memahami betapa penting dan berharganya kata “SAVE” dan “SAVE DATA” untuk seorang gamer. Tidak ada hal dan jadwal yang lebih penting daripada sebuah SAVE POINT ketika tengah memainkan sebuah game.
2. “Ngapain main game kalau malah jadi stress?”
Pandangan umum bahwa video game hanya dibangun untuk menghasilkan kesenangan semata memang dipandang dangkal oleh para gamer. Mereka yang awam seolah tidak mengerti bahwa setiap game dibangun dengan daya tarik yang berbeda-beda, termasuk tingkat kesulitan yang ada. Tidak sedikit game yang alih-alih menawarkan kesenangan, justru menghadirkan tantangan super sulit yang akan membuat gamer manapun frustrasi dan menyerah di tengah jalan.
Namun fakta bahwa kita merasa stress, frustrasi, dan marah karena tidak mampu menyelesaikan satu bagian game ternyata dipandang aneh oleh mereka yang awam. Terbatasnya pengalaman dan pengetahuan soal game melahirkan pemikiran yang satu ini. Cara terbaik? Ajak mereka “menikmati” Dark Souls untuk jangka waktu tertentu.
3. “Itu kan cuman pedang digital, kok girang amat?”
daya tarik utama. Daripada sekedar memberikan karakter yang memang sudah kuat sejak awal permainan, Anda diminta untuk mengembangkan karakter lewat sistem leveling up, memperkuat mereka seiring dengan lebih banyak pengalaman yang didapatkan dan quest yang diselesaikan. Oleh karena itu, tidak mengherankan jika keterikatan emosional dengan tiap karakter ini membuat banyak gamer yang akan menyambut dengan senang hati sebagai item digital yang dapat digunakan untuk memperkuat mereka.
Semakin langka, semakin tinggi pula rasa puas dan senang yang dimunculkan. Bagi para orang awam, sikap seperti ini tentu saja dilihat sebagai sesuatu yang aneh, apalagi mengingat waktu dan tenaga yang harus dicurahkan untuk mendapatkannya.
4. “Gua dulu pernah main Mario di Playstation”
Bagi non-gamer, tidak ada platform yang berbeda, semua video game dilihat sebagai satu kesatuan yang sama. Bagi mereka, semua platform adalah Playstation saat ini dan platform yang lebih lawas adalah Nintendo, tidak ada yang lain. Oleh karena itu, tidak jarang jika Anda menemukan komentar aneh yang mungkin bertolak belakang dengan pengetahuan dan pengalaman yang selama ini kita kenal.
“Gua dulu juga pernah main Mario di Playstation”, menjadi salah satu contohnya. Tidak heran jika gamer mengembangkan kebiasaan untuk memberikan koreksi setiap kali seperti ini mengemuka di perbincangan ringan. Usaha untuk membeberkan pengetahuan bahwa video game memiliki berbagai platform berbeda dengan game eksklusif mereka masing-masing seringkali ditanggapi dingin. Respon yang seringkali Anda dapatkan? “Ah..sama aja..”
5. “Reaksinya jangan lebay donk kalau ada game baru!”
Bagi seorang gamer, tidak ada momen yang lebih menyenangkan selain menemukan fakta bahwa akan ada lebih banyak game berkualitas yang muncul dalam hitungan hari atau minggu ke depan. Jika game-game ini hadir dari franchise yang memang besar atau memang sudah diantisipasi untuk waktu yang sangat lama, berteriak girang dengan mood positif yang kuat tentu saja menjadi reaksi yang normal. Ini seperti menemukan kembali air setelah masa paceklik dan kering yang sudah berlangsung dalam waktu yang lama.
Namun bagi mereka yang awam, reaksi ini dilihat sebagai sesuatu yang berlebihan dan tidak masuk akal. Mencintai dan menanti kehadiran sebuah permainan digital dianggap absurd dibandingkan menantikan sesuatu yang lebih fisik.
6. “Coba sekali-kali keluar rumah”
ni sudah pasti menjadi nasihat yang seringkali Anda terima ketika berperan sebagai seorang gamer. Dengan durasi gameplay minimal 8 jam hingga ratusan jam permainan, apalagi ditambah dengan kemampuan untuk menyuntikkan berbagai elemen yang adiktif, hidup gamer memang akan dengan mudah terserap ke dalam layar monitor dan kontroler yang tengah mereka genggam erat. Kesenangan, kepuasan, dan tantangan yang ia lahirkan membuat sebagian besar gamer dianggap anti-sosial, terutama dari mereka yang non-gamer.
“Dipaksa” untuk lebih banyak menikmati dunia luar, banyak orang awam yang seolah tidak memahami bahwa sumber kesenangan gamer sangatlah sederhana. Tidak dengan bercerita banyak hal dengan orang lain, tidak dengan berinteraksi dengan tetangga, tidak dengan mendengar curahan hati teman, yang dibutuhkan oleh seorang gamer adalah peran dan konklusi dari setiap game yang tengah mereka main. “Coba sekali-kali keluar rumah” menjadi pilihan tidak rasional, seperti merebut sumber kesenangan dari Anda secara instan.
7. “Kenal juga enggak, kok loyal banget?”
Pertemanan di dunia maya adalah hal yang tidak lagi asing dengan perkembangan teknologi yang satu ini. Namun mengembangkan loyalitas yang luar biasa untuk orang yang belum pernah Anda temui secara langsung di dunia maya tanpa keraguan? Hanya gamer yang mampu melakukan hal ini. Fenomean ini sendiri dapat terlihat dari sistem guild yang menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari dunia MMORPG.
Masuk ke dalam guild berarti percaya dan mengikuti sebauh sistem unik dalam kelompok, serta berusaha bekerja sama dan berperan sebaik mungkin. Ketika ketua guild meminta untuk berkumpul untuk hunting bersama misalnya, menjadi kewajiban anggota guild untuk menyempatkan waktu untuk ikut jika dimungkinkan. Sebuah bentuk loyalitas mungkin terlihat absurd di mata orang awam. Bagaimana caranya gamer dapat mengembangkan kepercayaan dan tanggung jawab untuk orang yang bahkan belum mereka temui secara langsung? Ini tentu akan menjadi misteri tersendiri bagi para gamer, setidaknya hingga mereka menjajal, mengalami, dan menemukan jawabannya secara langsung.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar